Heat exchanger ( HE ) atau alat penukar panas, memiliki fungsi sebagai sebuah peralatan yang berguna dalam melakukan pertukaran panas, dan umumnya fluida yang panasnya dipertukarkan tersebut tidak bercampur. Aplikasi HE banyak ditemukan mulai dari peralatan rumah tangga seperti pada AC hingga peralatan pada proses industri. Salah satu jenis HE yang banyak ditemui pada industri kimia adalah jenis Shell & Tube heat Exchanger ( STHE ) , disamping itu pula terdapat jenis lain seperti Double Pipe, Plate & frame Heat Exchanger dan lain – lain. Ketika kita mendapatkan materi dibangku perkuliahan mengenai design HE, umumnya HE jenis STHE lah yang paling banyak dan yang paling sering dibahas dibandingkan dengan jenis HE lainnya. Terdapat beberapa alasan mengapa STHE sering digunakan adalah [3],[4] :
- STHE memberikan luas permukaan perpindahan panas yang besar dengan volume yang kecil;
- Memiliki range luas perpindahan panas yang lebar mulai kurang dari 1 meter kuadrat hingga seribuan meter kuadrat dan bahkan lebih
- Memiliki rancangan mechanical yang baik, mampu dioperasikan pada tekanan tinggi
- Dapat dirancang dengan menggunakan berbagai jenis material;
- Mudah dibersihkan baik dengan chemical maupun mechanical cleaning;
- Memiliki prosedur thermal dan mechanical design yang baik.
- Mudah melakukan penggantian untuk komponen atau bagian – bagian yang cukup mudah rusak seperti gasket dan tube.
Salah satu item penting diatas adalah mengenai prosedur thermal design STHE. Telah banyak buku – buku yang membahas mengenai prosedur Thermal design STHE, diantaranya yang paling populer adalah buku Process Heat Transfer yang ditulis oleh Donald Q. Kern. Buku ini dianggap sebagai buku pegangan wajib para engineer maupun mahasiswa ( walaupun masih ada beberapa literatur yang lainnya ) dalam mendesain STHE. Di dalam literatur tersebut ( lihat chapter 11, bab Calculation for Process Condition ) dijelaskan bagaimana cara dan langkah dalam mendesain sebuah STHE. Literatur lainnya yang dapat kita ambil sebagai rujukan dalam mendesain STHE adalah buku Chemical Engineering Design Vol.6 ( terdapat dalam berbagai edisi, namun kali ini yang digunakan adalah edisi ke-4 ). Dalam buku tersebut juga dijelaskan bagaimana langkah – langkah dalam mendesign sebuah STHE lengkap dengan persamaan – persamaan yang digunakan untuk mendesain STHE, dan yang cukup menarik adalah buku tersebut memberikan langkah – langkah dalam bentuk blok diagram, untuk sebagian orang, mengikuti langkah – langkah yang ditunjukkan dengan blok diagram lebih mudah bila dibandingkan mengikuti langkah yang hanya berupa teks saja. Adapun langkah – langkah dalam mendesign sebuah STHE berdasarkan literatur [3] seperti yang terlihat pada diagram dibawah ini :
Pada blok diagram diatas, terdapat 14 langkah dalam mendesain STHE. Langkah ke-1 diawali dengan perhitungan nercara massa dan panas, antara dua stream, yaitu panas ( hot ) dan dingin ( cold ). Pada persoalan neraca massa dan panas umumnya kita sering diminta untuk menghitung jumlah ( misal dalam kg/jam ) media pemanas atau pendingin yang dibutuhkan untuk suatu proses , kita dapat menggunakan persamaan :
Q = mH.CpH.( T2-T1 )H
Q = mC.CpC.( T2-T1 )C
Subscibe H dan C masing – masing menunjukkan Hot ( fluida panas ) dan Cold ( fluida dingin ). Q dapat disebut juga dengan duty atau Heat Load. Untuk proses pendinginan ( pelepasan panas ), Q bertanda negatif. Umumnya proses perpindahan panas ( antara dua aliran panas dan dingin ) tersebut seringkali diasumsikan pada keadaan kesetimbangan thermal , dimana panas yang dilepaskan ( oleh fluida panas hal ini menyebabkan temperature fluida panas tersebut menjadi lebih rendah dari nilai awalnya ) dan panas yang diterima ( oleh fluida dingin, menyebabkan terjadinya kenaikan temperature fluida dingin ) adalah sama , sehingga dengan demikian kita dapat menghubungkan serta menghitung variable-variable yang tidak diketahui ( misal flowrate atau temperature ) dengan menggunakan informasi dari kedua fluida panas dan dingin tersebut.
Jika telah dilakukan perhitungan neraca massa dan panas maka dilanjutkan dengan Langkah ke-2 yaitu mengumpulkan physical properties untuk fluida panas dan dingin. Physical Properties yang digunakan antara lain, densitas ( ρ ), viskositas ( μ ), konduktifitas termal ( kf ) , kapasitas panas ( Cp ). Untuk informasi literatur yang dapat digunakan dalam mencari nilai Physical Properties dapat dilihat pada posting Sekilas info Mengenai Physical Properties dan Online Physical Properties Database. Nilai Physical properties tersebut tergantung pada temperature ( untuk gas tekanan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai Cp ), pada STHE terdapat 4 buah nilai temperature yang mungkin berbeda, yaitu temperature inlet dan outlet pada shell dan temperature inlet dan outlet pada tube, umumnya nilai physical properties tersebut di evaluasi pada nilai temperature rata – rata dari kedua stream. Misalkan temperature inlet dan outlet tube adalah 30 dan 45 oC, maka nilai Physical properties ( yang digunakan untuk menghitung koefisien perpindahan panas tube ) dievaluasi pada T = ( 30 + 45 )/2 = 37.5 ≈ 38, atau evaluasi Physical properties tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung nilai Physical properties pada T = 30 dan T = 45 oC, lalu nilai Physical properties dari kedua temperature tersebut dirata – ratakan.
Pada Langkah ke-3 asumsikan nilai koefisien perpindahan panas keselurahan ( overall heat transfer coefficient ), Uoass, nilai U dapat dilihat pada berbagai literatur [1],[2],[3],[4], berikut beberapa nilai U :
Karena umumnya nilai U yang diberikan adalah berupa range, maka sebaiknya nilai U yang diasumsikan tidak menggunakan batas minumum, sebaiknya diambil U dari nilai rata – rata dari range tersebut atau bahkan nilai maksimum [1], contoh jika nilai U memiliki range 100-300 W/m2 oC, sebaiknya dipilih nilai U > 150 W/m2 oC , hal ini dimaksudkan agar mendapatkan nilai A yang minimum, dengan nilai A yang minimum cost STHE akan lebih kecil( U berbanding terbalik dengan A ), namun begitu tidak selamanya dengan A yang minimum adalah baik, pada saat mendesain STHE perlu dipertimbangkan juga ketersiadaan A yang lebih untuk mengakomodasi faktor fouling.
Langkah ke-4 adalah menentukan jumlah pass tube dan pass shell, menghitung nilai ΔTm, dan ΔTlmtd serta menghitung faktor koreksi, Ft. Sebagai tahap awal kita dapat memilih konfigurasi jumlah pass shell 1 dan jumlah pass tube 2 atau umumnya diistilahkan dengan 1-2 STHE, konfigurasi lainnya dapat berupa : 1-4 STHE, 2-2 STHE, 2-4 STHE dan lain – lain , untuk 2-4 STHE dapat dibuat dari 2 buah 1-2 STHE yang disusun secara seri. Pemilihan jumlah pass shell dan tube akan mempengaruhi ( salah satunya ) terhadap faktor, koreksi ( Ft ). Nilai Ft = 1 menandakan bahwa aliran HE tersebut adalah murni counter-current ( pure counter-current flow ) seperti pada Double Pipe HE,
Sedangkan untuk STHE dengan multipass, aliran pada STHE tidak lagi murni counter-current, melainkan mixed flow, dengan adanya mixed flow mengakibatkan nilai Ft menjadi kurang dan efektivitas STHE menjadi berkurang , dari segi sisi praktis, nilai batas bawah ( lower limit ) Ft yang disarankan adalah 0.75- 0.8. Nilai ΔTm dihitung dari :
ΔTm = Ft x ΔTlmtd
Dengan :

Dimana :
T1 = temperature inlet fluida panas
T2 = temperature outlet fluida panas
t1 = temperature inlet fluida dingin
t2 = temperature outlet fluida dingin
Perhitugan nilai ΔTlmtd di atas tersebut valid untuk aplikasi STHE dimana tidak terjadi perubahan fase ( single phase ) , jika STHE tersebut diaplikasikan pada proses dimana terdapat perubahan fase ( phase change, seperti pada condenser, desuperheater dan lain - lain ) maka persamaan ΔTlmtd tersebut tidak lagi valid, namun begitu kita masih tetap dapat menggunakan persamaan ΔTlmtd tersebut , yaitu dengan menghitung nilai ΔTlmtd berdasarkan perubahan fase atau kondisi fluida yang bersangkutan ( nilai ΔTlmtd dihitung per perubahan fase ) dengan merujuk kepada kurva total perpidahan panas ( total heat load ) vs temperature ( lihat pada posting Weighted Mean Temperature Difference ).
Langkah ke-5 adalah menentukan luas perpindahan panas, A dengan persamaan :
A = Q / ( Uoass. ΔTm )
Yang menjadi perhatian adalah bahwa nilai A tersebut dievaluasi dengan menggunakan nilai Uoass, dimana nilai Uoass tersebut telah diasumsikan pada langkah sebelumnya sebelumnya. Langkah ke-6 adalah menentukan ukuran tube ( termasuk diameter dan panjang tube ) , susunan tube, material tube, penempatan fluida proses apakah pada tube side ( pada tube ) atau shell side ( pada shell ). Terdapat 4 jenis tube yang dapat digunakan yaitu :
- Plain tube
- Finned Tube
- Duplex atau Bimetallic tube
- Enhanced Suface Tube
Untuk perhitungan tahap preliminary design dapat menggunakan plain tube, Ukuran standar diameter luar tube yang digunakan adalah 16 – 25 mm, informasi lebih lanjut mengenai diameter tube dapat dilihat pada Lampiran 7 literatur [5], sedangkan panjang tube yang umum digunakan adalah 1.83 m, 2.44 m, 3.66 m, 4.88 m, 6.10 m, serta 7.32 m. Apabila STHE digunakan untuk fluida yang memiliki tingkat fouling yang cukup tinggi, sebaiknya gunakan tube dengan diameter yang lebih besar hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembersihan pada bagian tube. Sebagai panduan awal, gunakan tube berdiameter luar sebesar 19.05 mm dan panjang 3.66 m. Pemilihan material tube dapat disesuaikan dengan kondisi operasi maupun dari jenis fluida ( misalnya apakah fluida tersebut berpotensi menyebabkan korosi dengan cepat atau tidak ) yang digunakan, beberapa jenis material yang digunakan antara lain, Carbon steel, low-and high alloy steel, stainless steel, bronze, alloy copper & nickel dan lain – lain ( sebagai informasi mengenai jenis – jenis material tersebut dapat dilihat pada posting Common material for Process Equipment I & II ). Umumnya terdapat empat susunan tube yaitu ,
- Triangular ( 30o )
- Rotate square ( 60o )
- Square ( 90o ) dan
- Rotate square ( 45o )
Susunan triangular memberikan nilai perpindahan panas yang lebih baik bila dibandingkan dengan susunan rotate square dan square karena dengan susunan triangular dapat menghasilkan turbulensi yang tinggi, namun begitu tube yang disusun secara triangular akan menghasilkan pressure drop ( penurunan tekanan ) yang lebih tinggi dari pada susunan rotate square dan square. Apabila fluida yang digunakan memiliki tingkat fouling yang tinggi dan memerlukan pembersihan secara mekanik ( mechanical cleaning ) susunan tube secara triangular tidak digunakan, sebaiknya digunakan susunan square, apabila jenis cleaning yang digunakan adalah chemical cleaning, maka susunan tube secara triangular dapat diperimbangkan kembali, mengingat untuk chemical cleaning tidak memerlukan akses jalur ruang ( acess lanes ) yang lebih seperti pada mechanical cleaning. Tube pitch dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara dua tube yang diukur dari masing – masing titik tengah kedua tube tersebut. Nilai pitch, Pt, yang umum digunakan adalah 1.25 kali diameter luar tube.
Pt = 1.25 Do
Pada literatur lain [4], nilai minimum tube pitch untuk susunan triangular adalah Pt = 1.25 Do, sedangkan untuk susunan square nilai minimum tube pitch ( untuk cleaning lanes ) adalah Pt = Do + 6 mm.
Sumber :
- Donald Q. Kern, Process Heat Transfer, McGraw-Hill
- E.E Ludwig, Applied Process Design for Chemical & Petrochemcial Plant Vol.3rd Ed, Gulf Professional Publishing
- R.K.Sinnot, Chemical Engineering Design Vol.6 4th Ed, 2005, Elsevier
- R.Mukherjee, Pratical Thermal Design of Shell and Tube Heat Exchanger, 2004, Begell House
- Warren, McCabe, Unit Operasi Teknik Kimia Jilid 1, Erlangga
- Max S. Peter & K.D Timmerhaus, Plant Design & Economic for Chemical Engineer 4th Ed, McGraw-Hill
Tidak ada komentar:
Posting Komentar